Penulis: Rieska Wulandari *)
KITA, manusia modern, tak sedikit yang beranggapan bahwa manusia yang hidup ribuan tahun lalu itu lebih bodoh daripada manusia modern.
Tapi para ahli membuktikan bahwa manusia purba, terutama yang hidup di kawasan Sonda Land atau yang kita kenal dengan nama Nusantara, sebetulnya sangat arif.
Ya, mereka memang bukan orang-orang yang jago komputer dan pandai melakukan manipulasi digital.
Tapi mereka adalah orang-orang yang berkarya, yang memahami fenomena alam, yang punya teknik berkehidupan yang layak dan memiliki konsep tentang energi dan bahkan menguasai dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam buku Archeology: Indonesian Perspective. R.P. Soejono Festschrift, terbitan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), 2006, disebutkan bahwa para ahli memaparkan, jauh sebelum Hindu-Budha memasuki Nusantara, ternyata kawasan ini telah memiliki dinamikanya sendiri yang menarik untuk disimak.
Menurut penelitian Semah, manusia telah mendiami gua di Song Terus Pacitan sejak 180.000 – 4000 tahun lampau.
Sebaran megalitik di seluruh Nusantara menunjukkan bahwa ada periode ketika Nusantara hanya punya satu “agama”, yaitu spiritualisme, berupa pengakuan pada sesuatu yang agung, penguasa semesta.
Akan sangat menarik kalau kita bisa telusuri, bagaimana praktiknya, siapa pemuka agamanya, bagaimana penyebarannya, dan apakah ada misionarisnya? Sangat menggelitik.
Saya rasa, penelitian yang lebih intensif di situs-situs megalitikum yang tercatat di buku ini, benar-benar harus terus dilakukan, karena sangat-sangat bikin penasaran.
Kerajaan Sunda

Sejak zaman prasejarah, orang Sunda sudah ahli mengolah tanah liat. Hal itu tampak dari peninggalan di komplek Buni, antara Karawang-Bekasi, Kedungringin, Bulaktemu, Kebonklapa, Batujaya, Puloglatik.
Selain itu juga 18 kilometer dari lokasi di atas: Rengasdengklok, Kobakkendal, Dongkal, Cibutek, Pojoklaban, Tegalkunir, Babakan Pedes, Turi, Karangjati dan Cilogo. Lokasi ketiga adalah Cibango dekat Cilamaya.
Rute jalan Kerajaan Sunda menggunakan jalan darat dan sungai. Dari Pakuan ke timur ada jalan menuju Karangsambung.
Melalui Cileungsi atau Cibarusah ke timur laut menuju Tanjungpura, Karawang lalu tepi sungai Cimanuk.
Di Karangsambung diperkirakan ada jalan yang menghubungkan Tomo dan Rajagaluh Cirebon, turun ke selatan menuju Kuningan dan berakhir di Galuh Kawali dan juga Talaga juga wilayah Cikijing.
Dari Pakuan ada juga jalur Jasinga dan Rangkasbitung menuju Serang dan Wahanten Girang (Banten), menuju pelabuhan. Dari Pakuan juga ada jalur menuju Ciampea dan Rumpin.
Sementara itu Bujangga manik dalam perjalanan menuju Majapahit dari tanah Sunda menempuh jalur: Puncak, Tajur mandiri, Suka Beurus, Eronan, Mandala Puntang, Saling Galah, Gègèr Gadung sampai Galuh Kawali.
Jalur melalui sungai bisa dilakukan dengan kapal yang dinakhodai seorang tarahan.
Kawasan penting kerajaan Sunda adalah Banten, Pontang, Cigede, Tangerang (Tamgara), Kalapa dan Cimanuk.
Tak hanya itu, Bab 5 di buku tersebut membahas arkeologi klasik saat Hindu-Budha masuk ke tanah Sunda.
Penulis Titi Surti Nastiti menyebutkan, pada manuskrip Sanghyang Siksakanda Ng Karesian yang dibuat pada 1518 Masehi tertulis: “Rumah-rumah dan jalan dirawat, rumah juga terisi, lumbung terisi, kandang ayam terisi, tanaman sudah diberi pupuk, sawah yang belum teririgasi diurus, perkebunan karet diurus, kehidupan orang lokal sejahtera”.