Penulis: Rieska Wulandari
Milan, Wartaeropa.com – Betul, hasil Pemilu telah keluar, dan apapun hasilnya, itulah cermin demokrasi di negeri kita.
Namun sesungguhnya, di balik pemilu ada kisah yang tak melulu soal kemenangan dan kemeriahan, melainkan juga kisah pilu yang bikin lidah kelu.
Termasuk di Italia, dimana berbagai kisah tak nyaman bermunculan. Selain hasil pantauan, Warta Eropa (WE) juga menerima berbagai keluhan dari warga Indonesia di Italia.
Kisruh ini sebenarnya sudah terasa beberapa bulan sejak sebelum pemilu, karena WNI yang bermukim di Italia sejak lama mengeluhkan nama mereka tidak masuk dalam daftar calon pemilih tetap (DPT). Padahal sebelumnya mereka telah ikut pemilu beberapa kali.
Keluhan lainnya, ada suami istri yang mendapat lokasi pencoblosan yang berbeda. Misalnya suami di Milan, namun istrinya terdaftar di Roma.
Diperkirakan ada 300-an WNI di Italia yang tidak mendapatkan surat suara. (https://wartaeropa.com/2024/01/22/pemilu-2024-diaspora-indonesia-di-italia-terima-surat-suara-ppln-roma-kekurangan-ratusan-surat-suara/).
Pada Panitia Pemilihan Luar Negeri (PPLN) KBRI Roma (meliputi Italia, Siprus dan Malta), terdapat 1.802 calon pemilih. Namun masih ada 310 orang warga -172 di antaranya berada di Milan- yang mengeluh namanya tidak masuk dalam DPTB (Daftar Pemilih Tambahan), yang artinya terancam tidak bisa ikut pemilu karena surat suara tambahan yang dialokasikan oleh KPU hanya 2 persen dari jumlah total pemilih.
Sepekan sebelum pemilu, WE sempat memantau jalannya persiapan ke KBRI Roma dan Ketua PPLN KBRI Roma Mistin juga mengakui adanya kekurangan surat suara dan kesimpangsiuran pendataan sehingga banyak warga yang mengeluh.
Panitia sendiri merasa kesulitan untuk bergerak karena tampaknya ada masalah koordinasi antara KBRI Roma dengan KPU. (https://www.instagram.com/seatodaynews/reel/C3FKletqDGG/).
Tak bisa kembali ke Italia

Kisah pemilu ini menjadi tragedi, saat Mistin pulang ke Indonesia untuk rapat koordinasi dengan KPU.
Namun tanpa disadarinya, surat izin tinggalnya di Italia telah kadaluarsa.
Akibatnya, setelah Mistin meninggalkan Italia, ia tak dapat kembali ke Negeri Pizza itu. Jadinya pemilu di Italia dijalankan tanpa kehadiran Ketua PPLN.
Hal itu menimbulkan kecurigaan warga, bahwa ketua PPLN lari dari tanggungjawab akibat tidak cukupnya logistik surat suara. Sehingga pada praktiknya pemilu di Milan nyaris ricuh (https://www.youtube.com/watch?app=desktop&v=M-oZhBeOT48).
Namun surat suara tiba-tiba tersedia, setelah WE membuat laporan siaran langsung. Lalu 170-an warga pun bersorak gembira karena akhirnya mereka bisa ikut pemilu (https://wartaeropa.com/2024/02/12/pemilu-di-italia-tak-terdata-warga-panggil-media/).
Kesimpangsiuran sistem data

WE kemudian berusaha menghubungi Mistin untuk memahami apa yang terjadi. Mistin menuturkan, ia kembali ke Indonesia dan menghadap ke KPU untuk memperjuangkan dan memperbaiki persiapan yang serba “kekurangan” di Italia.
Ia mengakui ada kesimpangsiuran dalam sistem input data di pihak panitia. Juga keteledoran panitia yang tidak memasukkan data ke dalam sistem.
Selain itu juga ada ketidakkompakan, baik secara internal di dalam kepanitiaan PPLN maupun dalam koordinasi dengan pihak KBRI. Akibatnya, proses input dan verfikasi data menjadi tidak berjalan.
Kendati konsuler telah membantu, namun masih banyak warga yang tidak mendaftarkan diri karena tidak mendapat informasi, dan juga tidak ada inisiatif untuk mencari karena menganggap sistem data akan berfungsi otomatis berdasarkan pemilu sebelumnya.
Warga Indonesia di Italia juga mengeluhkan sistem pemberitahuan yang hanya mengandalkan organisasi dan grup Whatsapp (WA). Tidak secara personal atau privat, padahal ini sifatnya perseorangan.
Oleh karena itu, warga beranggapan cara komunikasinya dianggap kurang agresif dan bersifat “saling mengandalkan”.
Pakai uang pribadi, gaji tak dibayarkan

Selain itu, Mistin juga mengakui adanya ketegangan dalam mengatur budget, dimana ada kecenderungan panitia secara personal ada yang ingin “menguasai dan memanipulasi” penggunaan budget yang disediakan KPU.
“Saking pusingnya dengan keuangan, karena seolah dikuasai pihak tertentu, saya dan teman saya, Pak Fajar, terpaksa menggunakan uang pribadi. Itu tidak semuanya diganti oleh bendahara. Bahkan sebetulnya KPU Pusat juga masih memberikan gaji sampai bulan Maret kepada panitia, tapi kami tidak menerimanya. Alasan mereka, karena kami tidak ke kantor. Ya saya kan di Indonesia, tapi itu kan hak individu panitia,” keluhnya.
Mengenai nasibnya apakah ada kemungkinan bisa kembali ke Italia, Mistin mengaku lebih memilih untuk menetap di Indonesia.
“Sebenarnya saya masih ada kesempatan untuk bisa kembali pulang ke Italia dan mengurus surat izin tinggal. Tapi keluarga saya meminta saya tetap tinggal di Indonesia dan anak-anak saya juga meminta agar saya dan ayah mereka kembali berkumpul bersama keluarga,” tuturnya.