Penulis: Rieska Wulandari *)
Di tulisan terdahulu dikisahkan, penulis sejak kecil sudah membangun kerangka berpikir, bahwa Raja Dangdut Rhoma Irama sudah tiada, meski kiprahnya masih ramai dibahas di media-media massa dan filmnya sering ditayangkan di televisi. Tapi ternyata…
Bertemu Rhoma Irama
Catatan Cianjur yang mengatakan perjalanan Prabu Borosngora itu membutuhkan waktu 6 tahun meski tidak jelas dengan moda transportasi apa, mungkin dengan kuda dan kapal laut, cukup masuk akal buat saya.
Meski pertemuannya dengan sahabat Nabi, Ali RA, rasanya masih harus dikaji lebih dalam.
Usai tugas di Panjalu, saya ditugaskan untuk membantu redaksi desk Budaya. Sedang asyik-asyik ngobrol dengan rekan, saya dipanggil boss dan diminta untuk mewawancarai Bang Rhoma Irama.
Rasanya seperti habis disambar gledek. Keyakinan saya tentang legenda Rhoma Irama yang telah tiada, membuat saya hampir pingsan.
“Lho, Bang Rhoma masih ada?” tanya saya dengan polosnya kepada redaktur.
Redaktur yang menugaskan saya tampak kaget dengan pertanyaan saya yang dianggapnya aneh itu. Matanya tampak melotot.
Saya paham, ini pertanyaan kurang ajar. Saya segera koreksi (ngeles). “Maksud saya, apakah ada segmen koran kita yang membaca profil beliau?”
Argumen ini cukup masuk akal mengingat koran kami lebih banyak berbasis pembaca Kristen Protestan, sementara lagu Rhoma syair-syairnya lebih ke dakwah islami.
Boss saya kemudian maklum: ”Pasti ada (pembacanya). Dia legenda besar,” katanya.
Saya berusaha untuk mengumpulkan otak saya yang sepertinya berserak di lantai bagai puing-puing, mendapati salah paham soal Rhoma Irama.
Apa yang terjadi dengan kepala saya? Rupanya selama 20 tahun terakhir tak sinkron dengan realita.
Saya kemudian memulai riset di kantor, dan jelas sudah, Bang Rhoma masih ada dan tetap berkibar di dunia musik (waktu itu belum hijrah ke politik).