Rahasia Kain Kafan Sakral dalam Selembar Benang (Bagian 3 dari 3 Tulisan)

Penulis: Rieska Wulandari

Di bagian awal diceritakan, Kain Kafan Turin, dipercaya sebagai kain kafan yang membungkus tubuh Yesus setelah tragedi penyaliban. Dinamakan Kain Kafan Turin, karena hingga kini kain kafan itu tersimpan dengan baik di Katedral Turin Italia.

Wartaeropa.com – Joseph (Joe) Marino seorang Sindenologis (ahli Kain Kafan Turin) yang diwawancarai Mike Creavey dari Gracious Guest mengatakan, berdasarkan hasil evaluasi, ada beberapa catatan penting, mengapa kemelut hasil penanggalan karbon, C-14 menjadi blunder. Pasalnya, sampel kain yang diambil adalah bagian paling luar dari kain. Kenapa begitu?

“Karena proses analisa carbon dating akan merusak kain dan paus tidak menginginkan kerusakan, para ahli kemudian sepakat mengambil sampel di bagian yang paling luar,” ujarnya.

Namun belakangan, dari hasil citra foto resolusi tinggi, bisa dilihat bahwa di ada dua jenis serat pada bagian tepi kain yaitu serat linen (kafan dibuat dari serat linen yang mahal harganya), ada juga serat katun yang ditenun dengan sangat halus terjalin sempurna pada kain kafan.

Hasil tes kimia pada sampel yang tersisa juga memperlihatkan ada kandungan kimia berbeda antara katun dan linen. Artinya ada dua jenis serat kain! Padahal kain kafan seharusnya 100 persen terbuat dari serat linen.

Mengapa ada serat katun pada kain linen? Ingat kisah kebakaran di Chamberry? Kemungkinan terbesar adalah karena Ratu Margaret dari Savoia, yang menyerahkan kain ini kepada suster juga memerintahkan perbaikan.

Perbaikan itu tidak dilakukan oleh para suster, melainkan oleh para ahli tenun di Austria yang dikenal ahli dalam teknik invisible weaving atau “tenun tak kasat mata”. Itu biasa dilakukan saat merestorasi kain-kain mahal dan gaun indah sehingga tak kelihatan.

Hasil tes kimia pada sampel yang tersisa juga memperlihatkan ada kandungan kimia berbeda antara katun dan linen. (Foto: Noahvr.net)

 

Kekuasaan Kerajaan Savoia menjalar hingga Austria, sehingga ratu memiliki akses langsung pada para pengrajin terampil ini.

Selain itu, Joe mengatakan, pengambilan sampel pada tahun 1988 itu juga dianggap tak cukup mewakili, karena hanya mengambil bagian ujung saja dan tidak mengambil sample pada bagian lainnya sebagai pembanding.

Mengingat proses penenunan yang dilakukan oleh ahli dari Austria diperkirakan terjadi pada tahun 1353-an maka tidak heran bila hasil uji karbon menunjukkan “hasil rata-rata” yaitu periode 1260-1390.

Sementara itu, di Padova, Italia, Profesor Fanti, dengan berbekal bukti fisik berupa selembar benang sepanjang 15 micrometer, harus melakukan uji “load baring” (kekuatan serat).

Karena samplenya sangat kecil, ia harus membangun alat penguji dan mengkalibrasinya agar sesuai dengan standar penelitian namun bisa digunakan untuk serat yang sekecil itu.

Hasilnya, kain menunjukkan perkiraan usia 400 tahun lebih tua dari hasil tes penanggalan karbon. Wow, ini indikasi bagus!

Fanti juga melakukan riset pustaka. Ia memeriksa buku-buku tua yang dibuat pada tahun 600-an dan ada beberapa gambar yang memperlihatkan citra Yesus seperti pada kain kafan, namun kain kafan masih utuh atau belum terbakar.

Artinya, kalau dari riset pustaka, gambar kain kafan sudah muncul di tahun 600, maka tidak mungkin kain kafan Turin dibuat pada tahun 1200-1300-an tapi jauh sebelum kain itu berada di tangan keluarga Savoy.

Berbekal riset pustaka, ia melanjutkan dengan tes inframerah dan hasilnya menunjukan usia 1000 tahun lebih tua dari hasil penanggalan karbon, sehingga mendapat rata-rata tahun 33 Masehi, persis saat Yesus masih hidup! Eureka!

Melalui mikroskop, Fanti terkesiap, melihat bahwa benang tersebut terdiri dari jalinan 200 serat namun hanya satu serat yang berwarna gelap, seolah “diwarnai” namun tidak mungkin proses pewarnaan itu dilakukan tangan manusia karena skala benangnya mikroskopik, yaitu 1 serat/199 serat.

Dan proses itu seragam di seluruh kain kafan sehingga menjadi gambar/image tubuh’ yang demikian detail.

“Tidak mungkin manusia menjalin tenunan karena hanya satu serat yang berwarna coklat dan ada 199 serat yang tidak berwarna. Proses ini, bukan hasil tangan manusia,” ujarnya.

Hanya satu serat yang berwarna gelap, seolah “diwarnai” namun tidak mungkin proses pewarnaan itu dilakukan tangan manusia. (Foto: Noahvr.net)

 

Ia terus melanjutkan penelitiannya dengan menerapkan ilmu thermal imaging juga VP8 analizer dan 3d Photographic image.

Dengan ilmu analisanya, maka kain Turin mampu memberikan informasi densitas antara jarak kain dengan tubuh yang pernah bersemayam dan terbungkus kain tersebut.

Ia mengatakan, citra yang menempel pada kain itu memiliki kadar gelap terang yang berbeda, sehingga kain ini mampu memberikan citra 3 dimensi bagai sebuah relief postur manusia.

Tak hanya itu, ia juga tak lupa menghitung bias jarak yang mungkin terjadi antara tubuh dengan kain kafan tersebut agar citra 3 dimensinya menjadi presisi.

Berdasarkan analisa dan penghitungan thermal ia mendapatkan informasi mengenai ukuran tubuh bahkan berapa banyak luka yang diderita oleh “sosok misterius” tersebut, yaitu bahwa sosok ini memiliki tinggi badan 5 kaki dan 12 inci (180,34cm), sebuah ukuran yang luar biasa sebab rata-rata tinggi badan orang pada umumnya di masa itu adalah 5 kaki 5 inci.

Selain Itu, ia juga menemukan jejak 370 luka di sekujur tubuh depan dan belakang. “Namun karena kain kafan tidak mengenai bagian samping tubuh, saya perkiraan setidaknya sebetulnya tubuh itu mengalami setidaknya 600 luka,” ujarnya.

Dari hasil analisanya tersebut, untuk pertama kalinya dibuat imaji 3 dimensi yang memperlihatkan relief alamiah tubuh manusia yang didapat dari citra kain kafan Turin.

“Dari semua hasil karya seni yang pernah ada di dunia, ini adalah satu-satunya citra yang bisa dipetakan citra gelap-terangnya, menjadi wujud 3 dimensi! Tidak ada satu lembarpun kain lain yang memiliki citra yang seperti ini,” ujarnya.

Untuk membuat figur dalam kain kafan, ia bekerja sama dengan pematung Sergio Rodella yang membuat figur tiga dimensi dari kain kafan, lengkap dengan semua informasi luka-luka yang ditampilkan oleh kain kafan.

Tubuh di dalam kain kafan itu tampak kaku, pundak, leher dan kepala terangkat dalam posisi terkunci, mulut dan giginya kaku, demikian pula lututnya menekuk kaku seolah terkunci.

Para ahli di bidang forensik dari kepolisian Swiss yang terlibat pada penelitian tahun 1988, mengatakan kain kafan jelas memgandung darah dan bukan gambarnya hasil sapuan kuas, bukan pewarna tumbuhan atau darah hewan, dan tidak mengindikasikan teknik yang populer dikenal pada abad pertengahan.

Golongan darah di kain ini terindikasi AB, persis sama dengan darah pada relik saputangan yang kini disimpan di Spanyol.

Dalam kitab suci disebutkan saat memanggul salib, Yesus kelelahan dan sempat mengusap lukanya dengan sapu tangan milik seorang saksi mata.

Selain itu dari hasil pemindaian terlihat bahwa wajah sosok ini bengkak akibat penyiksaan demikian juga tangan dan kakinya bengkak akibat deraan yang panjang.

Bagai citra rekam medis

Dari kain ini, para ahli bagaikan melihat hasil scan x-ray dimana telapak tangan bawah memiliki luka bekas paku yang lukanya menembus hingga ke pergelangan tangan.

“Prajurit Romawi tahu persis jika yang dipaku telapak tangan bagian tengah maka tangan akan robek tak kuat menahan beban tubuh, oleh karena itu untuk membuatnya tak bergerak, maka paku harus diletakkan di telapak tangan bagian bawah menembus hingga ke pergelangan tangan persis seperti citra yang tampil pada kain Kafan,” tutur Fanti.

Tak hanya itu, hasil pemindaian di bagian kepala juga memperlihatkan bercak darah dan luka-luka persis kisah dalam kitab suci yang mengatakan Prajurit Romawi memasangkan mahkota duri di kepala Yesus. Darah juga tampak mengucur di bagian dahi.

Fotografer Barrie Schwortz yang turut terlihat dalam pemotretan Kain kafan dalam Shroud Of Turin Research Project (STURP) yang dilaksanakan pada 1978, mengatakan, dirinya kaget saat melihat fisik kain kafan dimana biasanya bercak darah pada kain biasanya berwarna coklat, namun ini berwarna merah.

Keheranan Barry ini dijawab oleh sejawatnya, seorang ahli kimia dalam darah, Dr Alan Adler yang terlibat dalam proyek ini, menjelaskan bahwa secara sains, orang yang mengalami shock dan trauma 24 jam, dalam kondisi dehidrasi dan kehabisan darah, maka sel-selnya akan pecah, organ hati juga pecah dan mengakibatkan sel darah bertemu dengan enzimi bilirubin yang mengakibatkan darah tetap berwarna merah dan tidak berubah menjadi coklat.

Seperti diceritakan Alkitab, Prajurit Romawi menusuk lambung hingga uluhati Yesus. Maka itulah Yang menyebabkan darah pada Kain Kafan Turin tetap berwarna merah.

Dari segi fotografi, Barrie sendiri kaget karena ketika dia memotret Kain Turin, image yang muncul adalah citra positif seperti gambar slide.

“Seumur hidup saya belum pernah saya menemukan fenomena ini,” ujarnya.

Sejak itu, Barry dan Juga Alan Adler yang sama-sama yang merupakan keturunan Yahudi dan tak pernah mempercayai kisah Yesus, menganggap proyek pemotretan ini sebagai sesuatu yang “menggetarkan hati”.

Para ahli juga membandingkan seribuan kain kafan yang digunakan untuk membungkus para penjahat yang menerima hukuman salib selama masa penjajahan Romawi di Yudea, tidak ada satupun yang memberikan jejak imaji seperti kain kafan Turin.

“Ada sekitar seribu kain kafan yang digunakan untuk membungkus mayat korban penyaliban, namun paling kain itu hanya mengandung tetesan darah, tapi tidak ada satupun yang memperlihatkan citra gambar tubuh seperti halnya kain Turin,” ujarnya.

Ketika manusia mengalami sakit yang amat sangat, secara natural tubuh akan memberikan reaksi kejutan listrik. (Foto: Noahvr.net)

 

Apa Kata Forensik Tentang Tubuh Yesus yang Lututnya Tertekuk Kaku?

Dalam konteks hukum, kain Turin adalah “corpus delicti” atau material bukti pembunuhan karena mengandung darah. Oleh karena itu, penelitian itu juga melibatkan ahli-ahli forensik dari kepolisian Swiss, yang dianggap negara netral.

Menurut ahli forensik, dari hasil pemindaian citra kain kafan, tampak bahwa sosok lutut tertekuk dan pundak dalam kondisi kaku yang “terkunci” atau mengalami tanda-tanda kematian (rigor mortis), termasuk kaku pada leher, mulut dan gigi.

Dari hasil pemindaian terlihat indikasi post mortem berupa kelopak matai yang tertutup, mengalami kekakuan pada leher, rahang dan tubuh serta bagian perut yang membengkak. Forensik mengatakan, ada jejak kontak antara kain dengan darah selama 24-48 jam, namun tubuh tidak sempat mengalami decomposing (pembusukan).

Memasuki periode setelah durasi 48 jam, setelah kematian, ada tanda-tanda warna yang tadinya kuat pada kain, tiba-tiba memudar, artinya tubuh seolah bergeser atau terbangun.

Jadi dalam durasi 72 jam, Ada kronologi yang penting yaitu tanda-tanda kematian dan kontak dengan kain antara 24-48 jam pertama, namun setelah 48 jam alih-alih membusuk, indikasi warna malah memudar, menunjukkan tubuh itu bangkit.

Fenomena ini dijawab oleh ahli DNA dengan menjelaskan bahwa darah manusia mengandung DNA dan DNA mengandung listrik.

Menurutnya, ketika manusia mengalami sakit yang amat sangat, secara natural tubuh akan memberikan reaksi kejutan listrik.

Namun spesifik dalam proses kematian sosok ini, bukannya pembusukan malah perpindahan sel yang memberikan resonansi gelombang/signal elektrik/radiasi UV, yang kemudian seolah terpatri atau tercetak pada Kain.

Untuk membuktikan teorinya ini Fanti sengaja mengambil kain kafan yang masih baru, kemudian di laboratoriumnya ia memberikan cahaya UVB laser (bukan UVB sinar matahari) dan dalam waktu 24 jam, mulai terlihat kain kafan menguning seperti yang terjadi pada kain kafan Yesus.

Untuk membuat percobaan ini, Ia harus menggunakan daya listrik yang sangat besar dan sangat berbahaya, namun dia beruntung kampusnya memberikan izin padanya untuk menjalankan uji tersebut.

Dengan demikian, jelaslah kain kafan merupakan hasil peoduksi semacam cahaya laser yang berlangsung di dalam gua dengan durasi sekitar 24-48 jam.

Secara sains, DNA memang diketahui mampu memancarkan sinar seperti gelombang laser.

Karena citra pada kain kafan Turin adalah citra laser dimana teknologi itu tidak eksis pada masa itu, maka kain ini tak sekedar bukti forensik dari sebuah upaya pembunuhan keji namun bangkit dari kematian bahkan bangkit.

Ini adalah bukti sains dari objek yang mampu menghasilkan citra yang photographic, holografik dan juga berupa X-ray! Rasul Yohanes pada Injil Yohanes 8:12 “Akulah terang dunia”.

Sampai saat ini, Vatikan belum berencana untuk melakukan pemindaian karbon sebagai pembuktian ulang. Kain kafan juga disimpan dalam kondisi steril anti bakteri, sehingga para ahli khawatir semua jejak karbon yang ada pada kain Turin telah “mati”. (Tamat)

Related Post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *