Belajar Islam di Jerman, Mengapa Tidak? (Bagian 1 dari 3 Tulisan)

Oleh: Suratno *)

Wartaeropa.com – Jerman, dengan segala pesonanya, selalu dapat menarik perhatian para cendekiawan dan mahasiswa dari seluruh dunia, termasuk dari Indonesia.

Selain soal pendidikan gratis dari TK/Taman Kanak-Kanak sampai jenjang S3/doktoral (beberapa negara bagian menarik SPP/uang-kuliah, tetapi juga sangat murah), hingga saat ini Jerman masih termasuk dalam 10 besar negara yang di rekomendasikan untuk melanjutkan studi ke jenjang perguruan tinggi.

Land der ideen, atau negeri (sejuta) ide, adalah slogan sekaligus sebutan bagi Jerman. Banyak pengajaran, riset, inovasi, penemuan dan juga gagasan-gagasan besar yang lahir dari Jerman yang berpengaruh besar bagi dunia, termasuk dalam bidang teknik, ilmu alam, ilmu sosial, ilmu humaniora dan bahkan ilmu agama.

Bagaimana dengan kajian Islam di Jerman? Tidak jauh berbeda, kajian itu juga telah memiliki sejarah dan tradisi akademik yang panjang di Jerman dengan dinamika pengajaran, riset, inovasi, penemuan dan gagasan yang juga berkontribusi pada diskursus akademik keagamaan dan keislaman.

Jadi kalau ada yang ingin belajar Islam di Jerman, warum nicht (mengapa tidak)?

 

Awalnya hanya Studi Islam di bawah Studi Tentang Dunia Timur

Secara historis, sebagaimana dilaporkan Jean Jacques Waardenburg (1930-2015) dalam buku Perpsektiven der Religionswissenschaft (1993), kajian Islam yang dipelajari di Jerman (disebut Studi-Islam/Islamwissenschaft) pada awalnya fokus pada bahasa, sejarah dan budaya atau yang di universitas dikenal sebagai Orientalische Seminar (OS).

Orientalisme, atau studi tentang dunia Timur, muncul pada abad 19. Studi ini mencakup kajian tentang bahasa, sejarah dan budaya dari Asia dan Afrika Utara.

Kajiannya berdasarkan filologi yang lebih luas, yakni melalui studi terhadap sumber-sumber asalnya khususnya dari teks dan manuskrip yang dianggap otoritatif.

Orientalisme selalu dibangun berdasarkan pola studi klasik dan berkaitan dengan masa lampau. Studi Islam kemudian berkembang menjadi cabang ilmu yang berbeda dari orientalisme, terutama sejak paruh kedua abad 19.

Studi Islam itu sendiri tentunya terlepas dari teologi dan tidak terpengaruh oleh polemik dan apologi.

Di Jerman kajian teologi tidak termasuk dalam kajian studi-agama (Religionwissenschaft).

Sebagai sebuah disiplin ilmu, kajian teologi (Kristen) berada dibawah fakultas dan jurusan tersendiri (Fakultas Teologi), jadi tidak berada di bawah Orientalische Seminar.

Dalam perkembangan selanjutnya, studi Islam di negara Barat termasuk di Jerman dalam bagian tertentu dapat dibedakan sebagai berikut;

(a) Studi Islam mensyaratkan kajian insentif tentang bahasa arab sebagai bahasa,

(b) Studi teks dan manuskrip hanya dapat dilakukan berdasarkan pada pengetahuan yang solid tentang bahasa Arab dan bahasa-bahasa dunia Muslim lainnya (Persia, Urdu, Melayu dan lainnya),

(c) Keahlian dalam kajian teks dan manuskrip pada gilirannya merupakan pra-syarat dalam kajian sejarah,

(d) Penelitian teks dan manuskrip serta sejarah memberikan jalan bagia kajian budaya dan keagamaan Islam, dan

(e) Kajian terhadap bagian wilayah budaya Muslim yang lebih luas telah membentuk bagian-bagian yang integral dari studi Islam, selama masih menyangkut keislaman dari budaya yang bersangkutan.

Sejak abad 19 hinga sekitar tahun 1950-an, menurut Waardeburg (1993), sumbangan pokok Jerman dalam kajian Islam memiliki akar dan tradisi akademik yang kuat dalam beberapa figur dari Orientalische Seminar.

Secara umum ada dua generasi.

Generasi pertama ada tiga nama yang terkenal yakni; Theodor Noldeke (1836-1930), Julius Wellhausen (1844-1918), dan Ignaz Goldziher (1850-1951).

Ketiga nama itu dikenal karena penelitian mereka tentang al-Qur’an, sejarah awal Islam, dan perkembangan internal agama dan budaya Islam.

Goldziher membahas tentang hadis Nabi lewat bukunya yang terkenal berjudul Muhammadenische Studies yang terbit tahun 1980.

Buku Goldziher selanjutnya menginspirasi Joseph Schacht (1902-1969) untuk menulis buku The Origin of Muhammadan Jurisprudence yang terbit tahun 1950.

Wellhausen menulis buku terkenal yang berjudul Reste Arabische Heidentums (Sisa Paganisme Arab) yang terbit tahun 1877.

Sedangkan Noldeke secara serius melakukan kajian kritis untuk melacak asal-muasal al-Qur’an.

Noldeke yang memperoleh gelar doktor saat baru berusia 20 tahun, disertasinya dalam bahasa Latin diterjemahkan dalam bahasa Jerman berjudul Geshichte des Qorans (Sejarah al-Qur’an) yang terbit pada tahun 1860.

Karya Noldeke ini dianggap sebagai buku pertama yang memberikan landasan ilmiah yang sebenarnya (a really scientific basis) untuk mengkaji kitab suci agama Islam.

Tentu saja ada pro dan kontra dari landasan ilmiah yang dibangun Noldeke terutama dari yang kontra menyebutnya adanya bias antar-agama karena metode kritis-historis yang dipakai Noldeke ibarat pengkajian kritis kitab Injil (biblical criticism) yang diterapkan pada kajian al-Qur’an.

Generasi kedua ada beberapa nama terkenal seperti Helmutt Ritter (1882-1971) dengan karyanya mengenai teks dan manuskrip agama Islam, Carl Borockle Mann (1865-1957) yang pakar dibidang sejarah teks dan manuskrip Arab.

Ada juga nama Hans Heinrich Schaeder (1896-1957) yang secara brilian mengkaji Islam dalam kerangka yang lebih luas dari sejarah keagamaan orang-orang Timur-Dekat dan sejarah dunia yang tidak lagi mengikuti pola kesarjanaan yang eurosentris.

Selain itu masih banyak karya-karya tokoh lainnya yang mengkaji Islam dari berbagai macam aspeknya.

Schaeder juga disebut-sebut sebagai orang yang sangat berpengaruh secara intelektual bagi pakar Islam dan tasawuf yakni Anne Marrie Schimmel (1922-2003) semasa Schaeder menjadi dosen pengajar Schimmel di Universitas Berlin. (Bersambung)

*)Penulis sedang menempuh pendidikan di Goethe-Universität Frankfurt.

(Artikel ini sudah terbit di Jurnal Mlangi Volume IV No 4 Juli-November 2017)

Keterangan Foto HL: Euro-Islam

Related Post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *