Sejak masuknya pengungsi Irak dan Suriah, dalam kurun waktu 2015-2016, Jerman menerima lebih dari 1,5 juta pengungsi, yang membuat populasi umat Islam di Jerman naik.
Sekarang diperkirakan populasi Muslim di Jerman lebih dari 6 juta, dan mungkin menjadi yang terbanyak di Eropa. Bahkan mengungguli Prancis yang populasi Muslimnya lebih dari 5 juta.
Berbagai persoalan mewarnai hubungan antara kaum Muslim dan dengan kaum agama lain serta dengan pemerintah Jerman. Ini telah mendapatkan perhatian serius dari kalangan akademisi dan pemerintah Jerman.
Dewan Jerman untuk Sains dan Humaniora (Wissenschaftstrat) menjelaskan bahwa mereka mulai menyediakan dukungan bagi pembukaan jurusan Studi-Islam sebagai bagian dari universitas sejak 2010.
Dewan itu yang juga merupakan dewan penasehat penting bagi pemerintah di bidang akademik, telah melakukan assessment jurusan studi-Islam sejak 2010.
Itu didahului dengan diskusi-diskusi mendalam sejalan dengan fenomena bahwa Islam makin menjadi isu di Jerman.
Prof Reinhard Schulze yang menjadi salah satu anggota dewan itu ingat bahwa dulu sebenarnya studi-Islam dan teologi Islam tidak menjadi isu di Jerman.
Tapi kini, pembukaan jurusan studi-Islam menjadi konklusi logis dari eksaminasi yang produktif di bidang akademik, khususnya studi Islam dan teologi Islam di Universitas Jerman.
Setelah diskusi-diskusi itu, akhirnya pada 2010, Menteri Pendidikan Federal yakni Annette Schavan membuka empat pusat kajian teologi Islam (Zentrum fur Islamische Theologie).
Kempat ZIT itu masing-masing membawahi dua universitas dengan dua jurusan, yakni Jurusan Studi-Islam dan Jurusan Pendidikan Guru Agama Islam.
Keempat ZIT itu membawahi:
(a) Universitas Muenster & Universitas berlin,
(b) Universitas Osnabruck dan Universitas Tubingen,
(c) Universitas Frankfurt dan Universitas Giessen/Marburg, dan
(d) Universitas Nurnberg dan Universitas Erlangen, semuanya mulai beroperasi sejak 2010 dan 2011.
Setelah rekomendasi Wissenschaftsrat, muncul perdebatan tentang apakah jurusan khusus yang mau didirikan itu sebenarnya jurusan teologi-Islam atau jurusan studi-Islam.
Prof Patrick Franke dari Universitas Bamberg adalah orang pertama yang mempertanyakan hal tersebut.
Di dalam tradisi akademik Jerman ada perbedaan yang tidak hanya semantik (karena dalam bahasa Inggris keduanya ditulis Islamic-Studies), yakni antara Islamische Studien (yang biasanya merujuk pada teologi-Islam) dan Islamwissenschaft (yang merujuk pada studi-Islam).
Teologi Islam/Islamische Studien biasanya mencoba untuk mengkaji Islam dari perpsektif insider (subjektif, orang Islam sendiri).
Sedangkan studi-Islam/Islamwissenschaft yang sebelumnya sudah ada dan di bawah Orientalische Seminar mencoba mengkaji Islam dari perpsektif outsider (objektif, bisa orang Islam atau orang non-Islam). (Bersambung)
*)Penulis sedang menempuh pendidikan di Goethe-Universität Frankfurt.
(Artikel ini sudah terbit di Jurnal Mlangi Volume IV No 4 Juli-November 2017)
Keterangan Foto HL: Suaradewan.com